Pengertian
Shalat gerhana
dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf (الخسوف) dan juga kusuf(الكسوف)
sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama.
Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan
juga khusuf sekaligus.
Namun masyhur
juga di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf
untuk gerhana matahari.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وجمهور أهل
اللغة وغيرهم على أن الخسوف والكسوف يكون لذهاب ضوئهما كله و يكون لذهاب بعضه
Menurut mayoritas ahli bahasa dan selain
mereka, bahwa khusuf dan kusuf itu
terjadi karena hilangnya cahaya keduanya (matahari dan bulan) secara
keseluruhan, dan karena juga hilangnya sebagiannya. (Al-Minhaj
Syarh Shahih Muslim, 6/198)
1. Kusuf
Kusuf (كسوف)adalah
peristiwa dimana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang
hari karena terhalang oleh bulan yang melintas antara bumi dan matahari.
2. Khusuf
Khusuf (خسوف)
adalah peristiwa dimana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada
malam hari karena terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada
di balik bumi dan matahari.
Pensyariatan Shalat Gerhana
Shalat gerhana
adalah shalat sunnah muakkadah yang ditetapkan dalam syariat Islam sebagaimana
para ulama telah menyepakatinya.
1. Al-Quran
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
وَمِنْ
آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا
لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ
إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
Dan dari
sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari
dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah
kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS.
Fushshilat : 37)
Maksud dari
perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan
adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.
2. As-Sunnah
Selain itu juga Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ
آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا
رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Sesungguhnya (gerhana) matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena wafatnya seseorang
dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah
kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari No. 1044,
1046, Muslim No. 901)
Inilah cara Islam, yakni berdoa,
berdzikir (takbir), shalat, dan bersedekah, bukan mengaitkannya dengan mitos,
tahayul, dan khurafat tertentu. Sabda nabi ini, sekaligus mengoreksi keyakinan
sebagian manusia pada zaman itu yang mengaitkan terjadinya gerhana dengan wafatnya anak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Ibrahim.
لَمَّا كَسَفَتِ
الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ
جَامِعَةٌ
Ketika
matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil
shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Bukhari).
Shalat gerhana
disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau
dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau
diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat Jumat.
Namun meski
demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat wajib, sebab dalam
hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5 waktu semata.
Hukum Shalat Gerhana
Kesunahan shalat gerhana telah menjadi kesepakatan dari masa ke
masa, sebab begitu banyak riwayat yang menyebutkannya, baik untuk dilakukan
oleh kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah.
Khadimus Sunnah, syeikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
اتفق العلماء على أن صلاة الكسوف سنة مؤكدة في حق الرجال والنساء، وأن الافضل
أن تصلى في جماعة وإن كانت الجماعة ليست شرطا فيها
Para ulama telah sepakat,
bahwasanya shalat gerhana adalah sunah muakadah (sunah
yang ditekankan) bagi kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara
berjamaah, hanya saja berjamaah itu bukan syarat sahnya shalat gerhana. (Fiqhus Sunnah, 1/213)
Imam An Nawawi Rahimahullah juga menjelaskan:
وأجمع العلماء على أنها سنة ومذهب مالك والشافعي وأحمد وجمهور العلماء أنه يسن
فعلها جماعة وقال العراقيون فرادى
Ulama telah ijma’ bahwa shalat gerhana adalah sunah, dan madzhab Maliki, Syafi’i,
Hambali, dan mayoritas ulama bahwa shalat tersebut disunahkan dilakukan dengan
cara berjamaah. Sedangkan ‘Iraqiyin (para
ulama Iraq, yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, pen) berpendapat dilakukan sendiri saja. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim,
6/198)
Artinya, tidak mengapa dilakukan
sendiri, namun menghidupkan sunah –yakni berjamaah- adalah lebih utama, sebab
begitulah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama
para sahabatnya, dan ini menjadi pegangan umumnya fuqaha.
Para ulama membedakan antara hukum shalat
gerhana matahari dan gerhana bulan.
1. Gerhana Matahari
Para ulama
umumnya sepakat mengatakan bahwa shalat gerhana matahari hukumnya sunnah
muakkadah, kecuali mazbah Al-Hanafiyah yang mengatakan hukumnya wajib.
a. Sunnah Muakkadah
Jumhur ulama
yaitu Mazhab Al-Malikiyah, As-Syafi'iyah dan Al-Malikiyah berketetapan bahwa
hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah muakkad.
b. Wajib
Sedangkan
Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya wajib.
2. Gerhana Bulan
Sedangkan
dalam hukum shalat gerhana bulan, pendapat para ulama terpecah menjadi tiga
macam, antara yang mengatakan hukunya hasanah, mandubah dan sunnah muakkadah.
a. Hasanah
Mazhab Al-Hanafiyah memandang bahwa shalat
gerhana bulan hukumnya hasanah.
b. Mandubah
Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa hukum
shalat gerhana bulan adalah mandubah.
c. Sunnah Muakkadah
Mazhab
As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa hukum shalat gerhana bulan
adalah sunnah muakkadah.
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ
لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ
وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Sesungguhnya (gerhana) matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena wafatnya seseorang
dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah
kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari No. 1044,
1046, Muslim No. 901)
Inilah cara Islam, yakni berdoa,
berdzikir (takbir), shalat, dan bersedekah, bukan mengaitkannya dengan mitos,
tahayul, dan khurafat tertentu. Sabda nabi ini, sekaligus mengoreksi keyakinan
sebagian manusia pada zaman itu yang mengaitkan terjadinya gerhana dengan wafatnya anak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Ibrahim.
Waktu Pelaksanaan
Waktunya
adalah sejak awal gerhana sampai keadaan kembali seperti sedia kala.
Sehingga, shalat gerhana belum boleh dilaksanakan jika belum
mulai gerhana, dan sebaliknya jika sudah nampak terang atau sinar
lagi secara sempurna, selesailah waktu dibolehkannya pelaksanaan shalat gerhana.
Bolehkah dilakukan pada
waktu-waktu terlarang shalat? Yaitu setelah shalat subuh sampai saat awal
terbit matahari, ketika matahari tegak di atas sampai tergelincirnya, lalu
setelah shalat Ashar sampai saat pas matahari
terbenam.
Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat, Jumhur (mayoritas) mengatakan
tidak boleh yakni makruh, inilah pandangan Hanafiyah,
Malikiyah, dan Hanabilah, kalangan Hanabilah mengatakan berdoa dan berdzikir
saja, tanpa shalat, sebab larangan itu berlaku umum untuk jenis shalat sunah
apa pun. Ada pun kalangan syafi’iyah membolehkannya. (Ibid, 2/553-554)
Yang lebih kuat – wallahu a’lam– adalah yang menyatakan boleh. Dalilnya
adalah:
Keumuman dalil:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ
فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Jika kalian menyaksikannya, maka
berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari
No. 1044, Muslim No. 901)
Maka, hadits ini berlaku secara
mutlak (umum) bahwa shalat gerhana dilakukan kapan saja, sebab itu adalah
konsekuensi dari perkataan “Jika kalian menyaksikannya.” Jadi,
kapan saja menyaksikan gerhana, shalatlah . …
Larangan shalat pada waktu-waktu
terlarang itu hanya berlaku bagi shalat-shalat yang dilakukan tanpa sebab
(istilahnya shalat muthlaq). Ada pun jika
dilakukan karena adanya sebab khusus, maka dibolehkan. Hal ini terlihat jelas
ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkan
seorang sahabatnya yang mengqadha shalat sunah fajar dilakukan setelah shalat
subuh. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga
pernah mengqadha shalat sunah ba’diyah zhuhur
di waktu setelah ashar. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan
seseorang untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid ketika
beliau sedang khutbah, padahal itu adalah waktu yang terlarang melakukan
aktifitas apa pun kecuali mendengarkan khutbah, ternyata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam justru memerintahkan sahabat itu, dengan
mengatakan qum farka’ rak’atain (Bangunlah
dan shalatlah dua rakaat). Para sahabat juga pernah shalat jenazah pada
waktu setelah ashar, sehingga menurut Imam An-Nawawi dan Imam Abul Hasan
Al-Mawardi kebolehan shalat jenazah pada waktu terlarang adalah ijma’ , karena saat itu para sahabat tidak ada
yang mengingkarinya. Begitu pula shalat gerhana di waktu-waktu terlarang ini, dia termasuk
shalat yang memiliki sebab (yakni peristiwa gerhana), bukan termasuk shalat muthlaq.
Sehingga tetap dibolehkan walau dilakukan saat waktu terlarang shalat.
Pelaksanaan Shalat Gerhana
Tata cara pelaksanaan shalat gerhana telah dijelaskan secara rinci dalam
kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebagai
berikut:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَكَبَّرَ فَاقْتَرَأَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ
كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
فَقَامَ وَلَمْ يَسْجُدْ وَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ
الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ وَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ أَدْنَى
مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا
وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِثْلَ
ذَلِكَ فَاسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ
الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ
Terjadi gerhana matahari pada saat hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau keluar
menuju masjid lalu dia berbaris bersama manusia di belakangnya, lalu Beliau
bertakbir, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca
surat dengan panjang (lama), lalu beliau bertakbir dan ruku dengan ruku yang
lama, lalu bangun dan berkata: sami’allahu liman hamidah,
lalu Beliau berdiri lagi tanpa sujud, lalu Beliau membaca lagi dengan panjang
yang hampir mendekati panjangnya bacaan yang pertama, lalu Beliau takbir, lalu
ruku dengan ruku yang lama yang hampir mendekati lamanya ruku yang pertama,
lalu mengucapkan: sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu, kemudian Beliau sujud. Kemudian
dia berkata: pada rakaat terakhir dilakukan seperti itu juga maka sempurnalah
empat kali ruku pada empat kali sujud. Lalu, matahari terbit sebelum Beliau
pulang. (HR. Bukhari No. 1046, Muslim No. 901, 1, 3)
Dalam hadits ini bisa dipahami:
Shalat gerhana dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di
dalam masjid
Dilakukan secara berjamaah
Dilakukan sebanyak dua rakaat
Rakaat pertama dua kali ruku,
Rakaat kedua juga dua kali ruku, total empat kali ruku
Tertibnya:
Takbiratul ihram, membaca Al
Fatihah, membaca surat yang panjang, lalu ruku yang lama, bangun lagi, membaca Al
Fatihah, membaca surat yang panjangnya hampir sama dengan yang pertama, lalu
ruku’ yang lamanya hampir sama dengan ruku sebelumnya, setelah itu sujud
seperti shalat biasa (lengkap dengan duduk di antara dua sujudnya), lalu bangun
lagi dan melakukan hal yang sama dengan rakaat pertama, hingga salam.
Ada pun dalam riwayat lain,
diceritakan bahwa sujudnya juga panjang. (HR. Bukhari No. 3203)
Dianjurkan imam mengucapkan Ash-Shalatu Jami’ah, boleh juga orang lain, untuk
mengumpulkan manusia agar berkumpul di masjid, sebagaimana riwayat berikut:
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diserukan
bahwa sesungguhnya shalat ini berjamaah (Ash Shalatu Jaami’ah).
(HR. Bukhari 1045, menurut lafaz Imam Muslim No. 910, 20: nudiya bish shalati jaami’ah – diserukan dengan
kalimat: Ash Shalatu Jaami’ah.)
Dalam pandangan Imam Abu Hanifah
dan pengikutnya, tatacara shalat gerhana adalah dua rakaat biasa dengan sekali
ruku, sebagaimana shalat hari raya atau shalat Jumat.
Imam An Nawawi menyebutkan:
وقال الكوفيون هما ركعتان كسائر النوافل عملا بظاهر حديث جابر بن سمرة وأبي
بكرة أن النبي صلى الله عليه و سلم صلى ركعتين
Berkata Kufiyyin (Para ulama Kufah), shalat gerhana adalah dua rakaat sebagaimana shalat
nafilah lainnya, berdasarkan zahir hadits Jabir bin Samurah dan Abu Bakrah
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua
rakaat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Dalilnya adalah bahwa:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فإذا رأيتم ذلك فصلوا كأحدث صلاة
صليتموها من المكتوبة
Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian
lakukan. (HR. Ahmad No. 20607, dari Qabishah, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1870, dari An Nu’man
bin Basyir, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.
6128, Ath Thabarani dalam Al Kabir No.
957, dalam Al Awsath No. 2805)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
الشمس انخسفت فصلى نبي الله صلى
الله عليه وسلم ركعتين ركعتين
Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat
dua rakat dua rakaat. (HR. An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487,
juga dalam As Sunan Al Kubra No. 1872,
Namun dua hadits ini
dipermasalahkan para ulama.
Hadits pertama, yang berbunyi: “Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian
lakukan.”
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad
dalam Musnadnya No. 20607, dengan sanad: Berkata kepada kami
Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, berkata kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari
Qabishah, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i
dalam As Sunan Al Kubra 1870, dengan sanad: Telah
mengabarkan kami Muhammad bin Basyar, dia berkata: telah mengabarkan kepada
kami Abdul Wahhab, dia berkata: Khalid dari Abu Qilabah dari An Nu’man bin
Basyir, katanya: (lalu disebutkan hadits di atas)
Dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi
dalam As Sunan Al Kubra 6128, dengan sanad: Telah
mengabarkan kami Abul Hasan Ali bin Muhammad Al Muqri’ Al Mihrajani, dengannya
dia mengabarkan kepada Al Hasan bin Muhammad bin Ishaq, berkata kepada kami
Yusuf bin Ya’qub Al Qadhi, berkata kepada kami Muhammad bin Abi Bakr, berkata
kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, dari Khalid, dari Abu Qilabah, dari An
Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
Dikeluarkan oleh Imam Al Bazzar
dalam Musnadnya No. 1371, dengan sanad: bercerita kepada kami
Nashr bin Ali, bercerita kepada kami Ziyad bin Abdullah, Yazid bin Abi Ziyad,
Abdurrahman bin Abi Laila, dari Bilal, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
Imam Al Bazzar juga mengeluarkan
pada No. 3294, dengan sanad: bercerita kepada kami Muhammad bin Mutsanna,
mengabarkan kami Muadz bin Hisyam, katanya: ayahku mengabarkan kepadaku, dari
Qatadah, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut
hadits di atas)
Imam Ath-Thabarani mengeluarkan
dalam Al-Mu’jam Al-Awsath 2805, sanadnya: bercerita
kepada kami Ibrahim, bercerita kepada kami Ruh bin Abdul Mu’min Al Bashri,
bercerita kepada kami Muadz bin Hisyam, katanya: ayahku berkata kepadaku, dari
Qatadah, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut
hadits di atas)
Imam Ath Thabarani juga
mengelurkan dalam Al-Mu’jam Al-Awsath 957,
sanadnya: bercerita kepada kami ’Abdan bin Ahmad, bercerita kapeada kami
Muawiyah bin ‘Imran Al Jarmi, bercerita kepada kami Anis bin Siwar Al Jarmi,
dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Hilal bin Amru, bahwa Qabishah Al-Hilali
berkata kepadanya: (disebutkan hadits di atas)
Validitas hadits ini
diperselisihkan para imam, sebab umumnya jalur hadits ini melalui Abu Qilabah
(nama aslinya adalah Abdullah bin Zaid Al Jarmi), syeikh Syu’aib Al-Arnauth
mengatakan:
كان كثير الإرسال، ولم يصرِّح هنا بسماعه من قبيصة بن مخارق
Dia banyak memursalkan hadits,
dan pada hadits ini tidak ada kejelasan bahwa dia mendengar hadits tersebut
dari Qabishah bin Mukhaariq. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No.
20607. Beliau pun mengatakan: isnaduhu dhaif –
isnadnya dhaif)
Imam Al Baihaqi juga
mengisyaratkan kedhaifan riwayat ini, katanya:
هذا مرسل أبو قلابة لم يسمعه من النعمان بن بشير إنما رواه عن رجل عن النعمان
Hadits ini mursal,[6] Abu
Qilabah belum pernah mendengarnya dari An Nu’man bin Basyir, sesungguhnya dia cuma
mendengar dari seorang laki-laki, dari An Nu’man. (Lihat As Sunan Al Kubra No. 6128)
Imam Yahya bin Al Qaththan juga
menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat, yakni inqitha’ (terputus sanadnya). (Al Hafizh Ibnu
Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/215)
Imam Al Haitsami mengomentari:
رواه البزار والطبراني في الأوسط والكبير وعبد الرحمن بن أبي ليلى لم يدرك
بلالا وبقية رجاله ثقات
Diriwayatkan oleh Al Bazzar, Ath
Thabarani dalam Al Awsath, dan Al Kabir, dan Abdurrahman bin Abi Laila belum pernah
berjumpa dengan Bilal, namun para perawi lainnya terpercaya. (Majma’ Az Zawaid, 2/446)
Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan:
قَالَ أَبِي: قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: أَبُو قِلَابَةَ عَنْ النُّعْمَانِ
بْنِ بَشِيرٍ مُرْسَلٌ، قَالَ أبي: قد أدرك أبي قِلَابَةَ النُّعْمَانَ بْنَ
بَشِيرٍ، وَلَا أَعْلَمُ أَسَمِعَ مِنْهُ، أَوْ لَا
Berkata Ayahku (Imam Abu Hatim):
Berkata Yahya bin Ma’in: Abu Qilabah dari An Nu’man adalah mursal. Berkata ayahku: Abu Qilabah telah berjumpa
dengan An Nu’man bin Basyir, tapi aku tidak tahu apakah dia mendengar darinya
atau tidak. (Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayyah,
2/228)
Jadi, permasalahan yang ada pada
hadits ini adalah semua jalurnya terputus sanadnya baik Abu Qilabah kepada An
Nu’man bin Basyir, atau Abu Qilabah kepada Qabishah, atau Abdurrahman bin Abi
Laila kepada Bilal, walau periwat lainnya adalah orang-orang terpercaya,
sehingga dilemahkan oleh sebagian imam ahli hadits seperti yang kami sebutkan
di atas.
Imam An Nawawi mengatakan bahwa
hadits ini shahih, walaupun Imam Al Baihaqi mengatakan adanya rawi yang gugur
(maksudnya tidak disebutkan orangnya) antara Abu Qilabah dan Qabishah, yaitu
Hilal bin Amru, tidaklah menodai keshahihannya, sebab Hilal bin Amru
adalah tsiqah. Imam Al Hakim telah menshahihkannya. (Imam An
Nawawi, Khulashah Al Ahkam, 2/863)
Hadits kedua, yang berbunyi: Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua
rakat dua rakaat.
·
Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487,
dengan sanad: mengabarkan kami Muhammad bin Mutsanna, mengabarkan kami Muadz (dia
adalah Ibnu Hisyam), ayahku bercerita kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah,
dari Qabishah Al Hilali, bahwasanya: (lalu disebutkan hadits di atas)
Hadits ini sama dengan sebelumnya
yakni kemursalan Abu Qilabah terhadap Qabishah Al Hilali. Sehingga syeikh Al
Albani mendhaifkannya. (Lihat Dhaif ul Jami’ No.
1474, Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1487)
Jadi, setelah diketahui bahwa
keshahihan hadits ini tidak pasti, bahkan kecenderungan adalah dhaif, maka tata cara shalat gerhana yang shahih adalah sebagaimana pendapat
jumhur ulama, dengan masing-masing rakaat dua kali ruku’, sebab hal itu
diriwayatkan oleh hadits-hadits yang lebih shahih yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim, dari para sahabat nabi yang lebih banyak dan lebih utama.
Oleh karenanya, Imam An
Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وحجة الجمهور حديث عائشة من رواية عروة وعمرة وحديث جابر وبن عباس وبن عمرو بن
العاص أنها ركعتان في كل ركعة ركوعان وسجدتان قال بن عبدالبر وهذا أصح ما في هذا
الباب
Alasan jumhur adalah hadits
‘Aisyah dari riwayat, ‘Urwah, ‘Umrah, jabir, Ibnu Abbas, Ibnu Amr bin Al ‘Ash,
bahwa shalat tersebut adalah dua kali ruku pada setiap rakaat, dan juga dua
kali sujud. Ibnu Abdil Bar berkata: Ini adalah yang paling shahih tentang
masalah ini. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menjelaskan:
السنة الصحيحة الصريحة المحكمة في صلاة الكسوف تكرار الركوع في كل ركعة، لحديث
عائشة وابن عباس وجابر وأبي بن كعب وعبد الله بن عمرو بن العاص وأبي موسى الاشعري.
كلهم
روىعنالنبيصلىاللهعليهوسلمتكرارالركوعفيالركعةالواحدة،والذينروواتكرارالركوعأكثرعدداوأجلوأخصبرسولاللهصلىاللهعليهوسلممنالذينلميذكروه
Sunah yang shahih dan jelas, yang
bisa dijadikan hukum tentang shalat kusuf adalah yang menunjukkan diulangnya ruku pada setiap
rakaat, yang ditunjukkan oleh hadits ‘Asiyah, Ibnu ‘Abbas, jabir, Ubai bin
Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, dan Abu Musa Al Asy’ari.
Semuanya meriwayatkan dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ruku diulang
dalam satu rakaat, orang-orang yang meriwayatkan berulangnya ruku lebih banyak
jumlahnya, lebih berwibawa, lebih istimewa hubungannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibanding
orang-orang yang tidak menyebutkan hal demikian. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/214. Lihat Raudhah An Nadiyah, 1/157) Wallahu a’lam.
Yakni kisah Qais bin Umar
bahwa beliau shalat subuh di mesjid bersama Rasulullah, sedangkan dia sendiri
belum mengerjakan shalat sunah fajar. Setelah selesai shalat subuh dia berdiri
lagi untuk shalat sunah dua rakaat. Nabi pun berjalan melewatinya dan bertanya:
مَا هَذِهِ الصَّلَاةُ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا
“Shalat apa ini?, maka dia
menceritakannya. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diam,
dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.” (HR. Ahmad No. 23812, syeikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hadits ini mursal, tapi para
perawinya terpercaya. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 23812.
syeikh Sayyid Sabiq mengutip dari Imam Al ‘Iraqi: sanad hadits ini hasan.
Lihat Fiqhus Sunnah, 1/187)
وَقَدْ أُتِيَ بِمَالٍ فَقَعَدَ يُقَسِّمُهُ حَتَّى أَتَاهُ مُؤَذِّنُ الْعَصْرِ فَآذَنَهُ بِالْعَصْرِ ، فَصَلَّى الْعَصْرَ ، ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَيَّ ، وَكَانَ يَوْمِي فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ، فَقُلْتُ : مَا هَاتَينِ الرَّكْعَتَينِ يَا رَسُولَ الله ؟! أَمَرْتَ بِهِمَا ؟ قَالَ : لاَ ، وَلَكِنَّهُمَا رَكْعَتَانِ كُنْتُ أَرْكَعُهُمَا بَعْدَ الظُّهْرِ ، فَشَغَلَنِي قَسْمُ هَذَا الْمَالِ حَتَّى أَتَانِيَ الْمُؤَذِّنُ بِالْعَصْرِ فَكَرِهْتُ أَنْ أَدَعَهُمَا
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat zuhur,
lalu didatangkan kepadanya harta, beliau pun duduk-duduk membagikan harta itu,
sampai terdengar suara muadzin untuk adzan ashar. Kemudian Beliau melaksanakan
shalat ashar, dan setelah selesai shalat Beliau pulang dan menuju rumahku, karena
hari itu adalah gilirannya di tempatku. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dua
rakaat yang ringan (sebentar), lalu saya pun bertanya: “Shalat apakah ini ya
Rasulullah? Apakah kau diperintahkannya?” Beliau bersabda: “Tidak, ini hanyalah
pengganti dua rakaat ba’da zhuhur yang biasa saya lakukan, tadi saya sibuk
membagikan harta hingga datang waktu ashar. Maka saya tidak suka meninggalkan
dua rakaat tadi.” (HR. Ahmad No. 26602, syeikh Syua’ib Al
Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No.
26602)
جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا قَالَ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
Datang seorang laki-laki dan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah di
hadapan manusia pada hari Jumat. Beliau bersabda: “Wahai fulan, apakah engkau
sudah shalat?” orang itu menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Bangunlah dan shalatlah dua rakaat.” (HR. Bukhari No. 930, dan Muslim No. 875)
لِأَنَّ صَلَاة الْجِنَازَة لَا تُكْرَه فِي هَذَا الْوَقْت بِالْإِجْمَاعِ
Karena shalat jenazah tidaklah makruh pada
waktu-waktu tersebut menurut ijma’. (Al Minhaj, 6/144)
Tertulis dalam Kitab Al Hawi Al Kabir: “Berkata Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu: “Shalat terhadap jenazah dilakukan
pada setiap waktu.”
Berkata Al Mawardi: “Ini benar,
shalat terhadap mayit tidaklah khusus pada waktu tertentu saja tanpa waktu
lainnya, dan tidak dimakruhkan melakukannya di waktu tertentu tanpa waktu
lainnya, dan dibolehkan pula melaksanakannya pada waktu-waktu terlarang. Tetapi
Abu Hanifah memakruhkannya jika dilakukan pada waktu-waktu terlarang shalat,
termasuk shalat-shalat yang pada dasarnya memiliki sebab untuk dilaksanakan,
dalilnya adalah riwayat dari ‘Uqbah bin Amir, dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kami shalat
pada tiga waktu dan juga melarang menguburkan mayit pada waktu-waktu tersebut,
yakni: ketika matahari benar-benar terbit hingga meninggi, ketika matahari
tegak di atas hingga bergeser, dan ketika matahari bergerak terbenam hingga dia
benar-benar terbenam.”
Berkata Al Mawardi: “Inilah
dalil hukum asal dalam masalah ini seperti yang telah
kami sampaikan sebelumnya. Kemudian dalil khusus untuk
masalah ini adalah telah diriwayatkan bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu wafat, lalu dia dishalatkan oleh
kaum muhajirin dan anshar ketika matahari menguning (bergerak terbenam, pen), dan tidak diketahui adanya seorang pun yang
mengingkarinya, maka ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan),
dan shalat tersebut menjadi sebab (dalil) dibolehkannya. Maka dibolehkan
melakukan (shalat jenazah) di semua waktu seperti shalat-shalat wajib, dan
hadits dari ‘Uqbah bin Amir bukanlah alasan untuk melarangnya, karena itu
merupakan larangan menguburkan ayat pada waktu-waktu tersebut. Dan hal ini
(shalat jenazah) tidaklah dilarang berdasarkan ijma’. “ (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, 3/95)
1. Berjamaah
Shalat gerhana
matahari dan bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu Rasulullah
SAW mengerjakannya dengan berjamaah di masjid. Shalat gerhana secara berjamaah
dilandasi oleh hadits Aisyah radhiyallahu 'anha.
2. Tanpa Adzan dan Iqamat
Shalat gerhana
dilakukan tanpa didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah
panggilan shalat dengan lafaz "As-Shalatu Jamiah". Dalilnya adalah
hadits berikut :
لَمَّا
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ
جَامِعَةٌ
Ketika
matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah SAW, orang-orang dipanggil
shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR.
Bukhari).
3. Sirr dan Jahr
Namun shalat
ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr
(mengeraskannya).
4. Mandi
Juga
disunnahkan untuk mandi sunnah sebelum melakukan shalat gerhana, sebab shalat
ini disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah
5. Khutbah
Ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama tentang hukum khutbah pada shalat gerhana.
a.Disyariatkan Khutbah
Menurut
pendapat As-Syafi'iyah, dalam shalat gerhana disyariatkan untuk disampaikan
khutbah di dalamnya. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul
Adha dan juga khutbah Jumat.
Dalilnya
adalah hadits Aisyah ra berikut ini :
أَنَّ
النَّبِيَّ لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ
اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَال : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ
مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَل لاَ يُخْسَفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ
لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا
وَتَصَدَّقُوا
Dari Aisyah ra
berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, beliau
berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian
bersabda, "Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari
tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian
seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah
shalat dan berdoalah. (HR.
Bukhari Muslim)
Dalam khutbah
itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk bertaubat dari dosa serta untuk
mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun).
b. Tidak Disyariatkan Khutbah
Sedangkan
Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk diberikan
peringatan (al-wa'zh) kepada para jamaah yang hadir setelah shalat, namun bukan
berbentuk khutbah formal di mimbar.
Al-Hanafiyah
dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab
pembicaraan Nabi SAW setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan
penjelasan tentang hal itu.
Dasar pendapat
mereka adalah sabda Nabi SAW :
فَإِذَا
رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Bila kalian
mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits
ini Nabi SAW tidak memerintahkan untuk disampaikannya khutbah secara khusus.
Perintah beliau hanya untuk shalat saja tanpa menyebut khutbah.
6. Banyak Berdoa, Dzikir, Takbir dan Sedekah
Disunnahkan
apabila datang gerhana untuk memperbanyak doa, dzikir, takbir dan sedekah,
selain shalat gerhana itu sendiri.
فَإِذَا
رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Apabila kamu
menyaksikannya maka berdoalah kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tata Cara
Teknis Shalat Gerhana
Ada pun
bagaimana bentuk teknis dari shalat gerhana, para ulama menerangkan berdasarkan
nash-nash syar'i sebagai berikut :
1. Dua Rakaat
Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat. Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku' dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :
Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat. Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku' dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :
Dari Abdullah
bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa Nabi SAW,
orang-orang diserukan untuk shalat "As-shalatu jamiah". Nabi
melakukan 2 ruku' dalam satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2
ruku' untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. Aisyah ra
berkata,"Belum pernah aku sujud dan ruku' yang lebih panjang dari
ini. (HR. Bukhari
dan Muslim)
2. Bacaan Al-Quran
Shalat gerhana
termasuk jenis shalat sunnah yang panjang dan lama durasinya. Di dalam hadits
shahih disebutkan tentang betapa lama dan panjang shalat yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW itu :
ابْنُ عَبَّاسٍ
- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - قَال : كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول
اللَّهِ فَصَلَّى الرَّسُول وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا
طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ
قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا
طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahuanhu, dia berkata bahwa telah terjadi gerhana matahari pada
masa Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW melakukan shalat bersama-sama dengan
orang banyak. Beliau berdiri cukup lama sekira panjang surat Al-Baqarah,
kemudian beliau SAW ruku' cukup lama, kemudian bangun cukup lama, namun tidak
selama berdirinya yang pertama. Kemudian beliau ruku' lagi dengan cukup lama
tetapi tidak selama ruku' yang pertama. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Lebih utama
bila pada rakaat pertama pada berdiri yang pertama setelah Al-Fatihah dibaca
surat seperti Al-Baqarah dalam panjangnya.
Sedangkan
berdiri yang kedua masih pada rakaat pertama dibaca surat dengan kadar sekitar
200-an ayat, seperti Ali Imran.
Sedangkan pada
rakaat kedua pada berdiri yang pertama dibaca surat yang panjangnya sekitar
250-an ayat, seperti An-Nisa. Dan pada berdiri yang kedua dianjurkan membaca
ayat yang panjangnya sekitar 150-an ayat seperti Al-Maidah.
3. Memperlama Ruku' dan Sujud
Disunnahkan
untuk memanjangkan ruku' dan sujud dengan bertasbih kepada Allah SWT, baik pada
2 ruku' dan sujud rakaat pertama maupun pada 2 ruku' dan sujud pada rakaat
kedua.
Yang dimaksud
dengan panjang disini memang sangat panjang, sebab bila dikadarkan dengan
ukuran bacaan ayat Al-Quran, bisa dibandingkan dengan membaca 100, 80, 70 dan
50 ayat surat Al-Baqarah.
Panjang ruku'
dan sujud pertama pada rakaat pertama seputar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada
ruku' dan sujud kedua dari rakaat pertama seputar 80 ayat surat Al-Baqarah. Dan
seputar 70 ayat untuk rukuk dan sujud pertama dari rakaat kedua. Dan sujud dan
rukuk terakhir sekadar 50 ayat.
Dalilnya
adalah hadits shahih yang keshahihannya telah disepakati oleh para ulama
hadits.
كَسَفَتِ
الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ فَصَلَّى الرَّسُول وَالنَّاسُ
مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ
رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ
الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل
Dari Ibnu
Abbas ra berkata,"Terjadi gerhana matahari dan Rasulullah SAW melakukan
shalat gerhana. Beliau beridri sangat panjang sekira membaca surat Al-Baqarah.
Kemudian beliau ruku' sangat panjang lalu berdiri lagi dengan sangat panjang
namun sedikit lebih pendek dari yang pertama. Lalu ruku' lagi tapi sedikit
lebih pendek dari ruku' yang pertama. Kemudian beliau sujud. Lalu beliau
berdiri lagi dengan sangat panjang namun sidikit lebih pendek dari yang
pertama, kemudian ruku' panjang namun sedikit lebih pendek dari sebelumnya.(HR. Bukhari dan Muslim).
0 komentar:
Posting Komentar