Rabu, 18 April 2018

KeliruMinangologi: Belanda Sesatkan Sejarah Masuknya Islam Ke Minang


Bakaba.co — Minangkabau, salah satu etnis yang memiliki adat dan budaya khas di bumi nusantara, selalu di bawah sasaran untuk dilemahkan. Bahkan pemutar-balikkan sejarah dan fakta tentang Minangkabau dan adatnya sampai sekarang masih terus berlangsung. 
“Pelemahan bahkan upaya menghilangkan eksistensi Minangkabau dan Adatnya dilakukan dengan berbagai cara oleh Belanda maupun antek-anteknya. Sampai sekarang.” Hal itu ditegaskan Asbir Dt. Rajo Mangkuto dalam perbincangan dengan bakaba.co 
Pada zaman Belanda, tahun 1850 kata Asbir, diterbitkan majalah bernama ‘Tijdschrif voor Nederlandsch Indi’ (Majalah untuk Hindia Belanda). Majalah tersebut sangat gencar menulis sejarah Indonesia dan Minangkabau. Tulisan yang disebarkan majalah itu memutar-balikkan fakta dan sejarah Minangkabau. Tulisan itu dijadikan bahan rujukan sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sejarah yang sama juga diajarkan di sekolah yang didirikan masyarakat di Minangkabau. 


Masuknya Islam
Berkaitan Islam di Minangkabau, majalah tersebut menulis bahwa Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-18. Islam yang dibawa pedagang Gujarat ke Minang mereka sebut berpaham Qaramithah. Dalam menyebarkan agama Islam, pedagang asal Gujarat dibantu Syekh Burhanuddin Ulakan. Di mana akhirnya para pemimpin/pucuk adat, raja-raja di Minangkabau menganut paham Islam Qaramithah. 
Selain itu majalah yang sama menulis bahwa Islam masuk ke Minangkabau melalui pantai barat Sumatra. Mereka mengaitkannya dengan keberadaan Syekh Burhanuddin yang berada dan hidup di Ulakan, Pariaman. “Begitu cara mereka membuat pembenaran atas sejarah masuknya Islam ke Minangkabau yang mereka sesatkan,” ujar Asbir Dt. Rajo Mangkuto.
Majalah yang sama menulis, pada tahun 1805 M: H. Miskin, H. Sumanik dan H. Piobang pulang dari Mekah. Ketiga Haji tersebut membawa paham Wahabbiyah. Akhirnya para ulama di Minangkabau menganut aliran Wahabbiyah, yang ekstrim dan kejam. Sementara para pemangku adat dan raja-raja mereka sebut menganut paham Qaramithah.
Perbedaan paham itu disimpulkan penulis Belanda di Tijdschrif voor Nederlandsch Indie sebagai pemicu terjadinya perang antara ulama dan kaum adat di Minangkabau. Perang yang terjadi antara tahun 1803 sampai 1821 disebut Belanda sebagai perang antara kaum ulama yang menganut paham Wahabi dengan para pemangku adat yang menganut Qaramithah.
Penulis Belanda di majalah itu dengan meyakinkan menulis bahwa H. Miskin, H. Sumanik dan H. Piobang telah mengembangkan ajaran Wahabi sejak 1805 di Minangkabau. “Sementara perang yang mereka sebut dashyat antara kaum Wahabi dengan penganut Qaramithah sudah terjadi dua tahun sebelumnya. Begitu tidak masuk akal,” kata Asbir, yang menulis buku ‘Direktori Minangkabau’, 2011. 
Sejarah yang Terjadi
Menurut Asbir, dia membaca begitu banyak referensi dan dokumen sejarah, akhirnya dia menyimpulkan bahwa fakta dan sejarah Minangkabau banyak diputar-balikkan Belanda. Salah satunya tentang masuknya Islam ke Minangkabau, juga tentang perang yang terjadi tahun 1803-1821 dengan tokoh-tokoh dan paham yang sengaja dibuat keliru oleh Belanda.
Islam masuk ke Minangkabau jauh sebelum abad 18. Pada tahun 695 M saja, kata Asbir, telah berdiri Kerajaan Islam Muaro Sabak (berpusat di hiliran Sungai Batanghari) dan diikuti pucuk Adat Pariangan. Tahun 790 M berdiri Kerajaan Islam Pulau Penyengat, tahun 970 M berdiri Kerajaan Islam Kuntu (berpusat di Kampar, Minangkabau bagian timur), tahun 1110 M berdiri Kerajaan Islam Fansur, tahun 1120 M berdiri Kerajaan Islam Aru Barumun, dan di tahun yang sama, 1120 berdiri Kerajaan Islam Indropuro (Pesisir Selatan). 
Islam dan Pedagang Arab
Belum lagi jika kita baca sejarah Yaman. Bahwa pedagang dari Yaman, sudah datang ke wilayah Minangkabau sejak tahun 628 M. Selain berdagang ke Kanton, pedagang Yaman beragama Islam ke Minangkabau membeli kamper (kapur barus), merica dan lada dan bahan rempah lainnya. 
Di zaman Raja Sulaiman, perdagangan laut telah dilakukan dengan sebutan Thariqal Bahri. Para pedagang Yaman beragama Islam menuju Minangkabau, daerah transit untuk mengambil air dan bahan makanan di kepulauan Maladewa, Perlaq di Aceh, pulau Penyengat di kepulauan Riau. Di pulau Penyengat para pedagang dari Yaman membagi rombongan: ada yang menuju Kanton, dan sebagian lagi menuju Minangkabau dan daerah lain di Nusantara. 
Para pedagang bangsa Arab berperan menyebarkan Islam di wilayah Minangkabau dan meyakinkan pihak kerajaan yang mereka datangi untuk menganut Islam. Muaro Sabak dengan raja Lukito Warman, tahun 695 M menjadi kerajaan Islam. 
Agama Islam yang dibawa para pedagang bangsa Arab: Yaman, Parsi sejak abad ke-7 melalui jalur Sumatra timur. Sungai Kampar menjadi pintu masuk para pedagang bangsa Arab ke pedalaman Minangkabau. Pilihan Sungai Kampar sampai ke Hulu di daerah Mahek, Luhak 50 Koto karena di sepanjang wilayah tersebut terdapat kampher (getah pohon kampher atau bahan kapur barus) yang berlimpah. 
Berbeda dengan pedagang Arab Parsi yang berdagang dan menyebarkan Islam melalui hiliran Sungai Batanghari. Mereka datang mencari dan membeli emas yang banyak terdapat di daerah selatan Sumatra tersebut.
Puncak dari sejarah masuknya Islam ke Minangkabau, tahun 1403 M, orang Minangkabu inti (Luhak nan Tigo) ber~bai’ah/bersumpah: orang Minangkabau menganut Islam secara keseluruhan. Melalui musyawarah di Bukik Marapalam, Puncak Pato, Tanahdatar, ditetapkan Adat Basyandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah – Syara’ Mangato, Adat Mamakai – sebagai landasan hidup dan kehidupan orang Minangkabau.

“Sejak abad tujuh telah berdiri kerajaan Islam di wilayah Minangkabau. Fakta itu sudah bisa membatalkan sejarah yang dibuat Belanda, yang menulis sejarah bahwa Islam masuk ke Minangkabau pada abad 18,” ujar Asbir.

 Sementara soal Gujarat, daerah yang terletak di barat laut India justru penduduknya menganut Hindu dan Budha. Baru pada tahun 1760 M, Islam masuk ke Gujarat ketika Gujarat ditaklukkan Sultan Akbar yakni sultan kedua Bhopal. Bahkan sampai tahun 1911, saat Gujarat diduduki Inggris, tidak lebih 40 persen penduduk Gujarat yang beragama Islam. 
Bangsa Gujarat bukanlah bangsa pedagang, kata Asbir. Tidak ada kebutuhan Gujarat yang mereka perlukan tersedia di Minangkabau. Begitu juga kebutuhan orang Minang tidak ada di Gujarat. Selain itu, orang Gujarat tidak pernah melakukan perpindahan besar-besaran ke Minangkabau. Begitu juga dengan paham Qaramithah, yang sudah habis tujuh abad sebelum Islam masuk ke Gujarat.
Habisnya paham Qaramithah, 700 tahun sebelum Islam masuk ke Gujarat, dapat dibuktikan dengan sejarah Basrah. Tahun 881 M, di sebuah desa bernama Qaramith di utara Basrah, mulai diajarkan Syiah Qaramithah oleh Al-Hamdani. Qaramithah menganut ajaran ‘tassukil arwah’ yang berasal dari ajaran samsara agama Hindu dan Budha. Penganut Qaramithah mempercayai malaikat jibril dan mikhail bisa masuk ke dalam tubuh manusia. Imam mereka Al-Hamdani dipercaya sering dimasuki jibril yang memberi petunjuk padanya. Adanya kepercayaan tersebut, ajaran Qamarithah berkembang cepat. Pada tahun 926 M, para penganut Qamarithah menyerang Hijjaz bagian utara dan membelok ke selatan menduduk Madinah dan Mekah. Waktu itu sedang musim haji. Para jamaah haji mereka rampas dan banyak yang dibunuh. Kemudian mereka mencungkil Hajjar Aswat dan membawa lari ke Wadi Hajjar. Batu Hajjar Aswat mereka sembah. 
Tidak kurang 25 tahun, batu Hajjar Aswat dikuasai penganut Qaramithah. Sampai pada tahun 951 M, Muizuddaulah, penganut Syiah Itsnai Asyarah atas perintah Khalifah bani Abbaisyiah menyerang Wadi Hajjar sampai penganut Qaramithah cerai-berai lari memasuki padang pasir. Batu Hajjar Aswat berhasil direbut dan dikembalikan ke tempat semula. 
Berselang 20 tahun, penganut Qaramithah kembali bangkit. Pada tahun 970 M mereka masuk, menyerang dan merampoki Kota Damaskus. Hanya satu tahun Qaramithah menguasai Damaskus. Tahun 971 M, Jauhar as-Siqqili bani Fatimiyah, termasuk Syiah Ismailiyah dengan pasukan besar menumpas pengikut Qaramithah di Damaskus sehancur-hancurnya. Kemudian As-Siqqili meneruskan penyerangan ke Wadi Hajjar, dan menghabisi Qaramithah sampai ke akar-akarnya. Sejak itu, tahun 971 M, Islam aliran Qaramithah tidak ada lagi.
“Sejarah yang ditulis di Tijdschrif voor Nederlandsch Indie, bahwa paham Qaramithah dibawa dari Gujarat ke Minangkabau, sangat tidak bisa diterima akal sehat,” kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto, yang sudah berusia 83 tahun mampu mengingat urutan sebuah peristiwa sejarah serta tahun-tahun kejadiannya.
Syekh Burhanuddin Ulakan
Tokoh yang ditulis Belanda dalam sejarah bikinan mereka bahwa pembawa Islam ke Minangkabau yakni Shekh Burhanuddin Ulakan, bersamaan dengan pedagang Gujarat, pada abad 18. Juga dimunculkan mamangan “syara’ mandaki, adat menurun’, yang disebarkan seakan-akan agama Islam berasal dari daerah pesisir Pariaman, dan adat Minangkabau menurun dari darek/pedalaman ke wilayah pesisir. 
Padahal, jelas Asbir, Shekh Burhanuddin Ulakan, baru ada dan hidup 11 abad setelah Islam masuk ke Minangkabau. Bahkan sebelumnya juga ada Shekh Burhanuddin Kuntu. Sejarah mencatat, tahun 1184 M, wali murid masyarakat Batuhampar, Payakumbuh, membawa seorang guru agama Islam dari Mekah. Guru tersebut seorang Arab Quraisy, bernama Burhanuddin. Pada tahun 1194 M, Burhanuddin pindah ke Koto Kaciak, Kumpulan, Palupuah, Agam. Lima tahun kemudian, tahun 1199 M, Burhanuddin pindah ke Kuntu dan dikenal sebagai Syekh Burhanuddin Kuntu. Pada tahun 1214 M, Syekh Burhanuddin Kuntu meninggal dan dikebumikan di Kuntu. 
Sementara Syekh Burhanuddin Ulakan, sejarah mencatat; lahir tahun 1646 M dan meninggal tahun 1704 M. Ketika berusia remaja, Burhanuddin yang nama kecilnya Pono, belajar Islam ke Aceh dengan guru Syekh Abdur Rauf Al-Singkili. Setelah belajar 10 tahunan, tahun 1680 M Burhanuddin kembali ke Ulakan, Pariaman, dan mendirikan surau untuk mengajar agama Islam. Paham yang diajarkan Syekh Burhanuddin adalah Syatariah.

Sejarah masuknya Islam ke Minangkabau disesatkan Belanda dan disebarkan sedemikian rupa. Tujuannya mengacaukan sejarah dan marwah orang Minangkabau yang sudah lama menganut agama Islam. 
“Tujuan utama Belanda adalah membentuk opini bahwa agama Kristen lebih dulu menyebar di Nusantara, termasuk di wilayah Minangkabau dibanding agama Islam,” kata Asbir yang pernah menjadi Walinagari Simarasok, Baso di awal-awal kemerdekaan.
Tiga Haji & Para Tuanku Yang Dituduh Wahabi
Pemutar-balikkan fakta dilakukan terhadap tiga tokoh ulama Minangkabau yakni Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang. Selain tiga haji tersebut, para ulama atau tuanku lain juga dituduh sebagai penganut ajaran Wahabiyah oleh penulis asing dan kolonial Belanda
Pada zaman Belanda, tahun 1850 diterbitkan majalah bernama ‘Tijdschrif voor Nederlandsch Indie’ (Majalah untuk Hindia Belanda). Majalah itu gencar menulis sejarah Indonesia dan Minangkabau.
Tulisan yang disebarkan majalah memutar-balikkan fakta dan sejarah Minangkabau, dan dijadikan bahan rujukan sejarah dan diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sejarah yang sama juga diajarkan di sekolah yang didirikan masyarakat di Minangkabau.
Majalah tersebut menulis bahwa pada tahun 1805 M, tiga ulama asal Minangkabau yang pulang dari Mekah menganut paham Wahabiyah.
Ketiga ulama tersebut Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang. Juga ditulis bahwa di Minangkabau aliran Wahabi dianut oleh golongan ulama yang bergelar tuanku.
Cap Wahabi itu semakin mendapat tempat pijakan ketika terjadi perang dahsyat di Minangkabau, antara kaum ulama dengan kaum adat antara tahun 1803 sampai 182.
Kemudian dilanjutkan Perang Paderi, nama ciptaan Belanda, di mana Belanda mendukung kaum adat untuk menumpas kaum ulama.
Dalam buku dan tulisan yang tersebar sangat kuat tertanam dalam memori kolektif masyarakat bahwa kaum ulama beraliran Wahabi memerangi kaum adat yang diistilahkan sebagai ‘pemurnian Islam di Minangkabau’.
Dari pihak ulama, selain Haji Miskin, Sumaniak dan Haji Piobang, juga Tuanku nan Renceh dan ulama yang disebut ‘Harimau nan Salapan’ sampai Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Lintau, Tuanku Rao dicap Belanda penganut ajaran Wahabi.
Harus Diluruskan
Orang Minang, kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto, penting mengkritisi dan harus meluruskan sejarah yang dibuat Belanda, berkaitan dengan tiga ulama dan para tuanku di Minangkabau.
Sebab implikasinya luas, terbentuk stigma atau cap negatif bahwa kaum adat dan ulama di Minang tidak akur dan sejalan. 
 “Misi Belanda jelas, bagaimana adat dan agama Islam dipertentangkan dan bermusuhan. Belanda tahu bahwa kekuatan Minangkabau terletak pada prinsip adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah,” kata Dt. Rajo Mangkuto, yang menulis buku ‘Direktori Minangkabau’.
 Tuduhan sangat tidak masuk akal bahwa, Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang Wahabi, kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto. Sebab, ketiga haji itu saat berada di Mekah antara tahun 1790 sampai 1805.
Mekah waktu itu termasuk wilayah yang dikuasai Turki Ottoman. Pada tahun 1760, Mekah dan Madinah diserang dan diduduki Ibnu Saud penganut paham Wahabi Ahlusunnah Hambali.
Ibnu Saud dan pasukannya hanya beberapa bulan menduduki Mekah dan Madinah, karena diserang balik pasukan Turki.
Ibnu Saud mundur ke Riyadh. Riyadh berhasil diduduki Turki. Pasukan Turki terus mendesak Ibnu Saud dan pasukannya jauh ke tengah padang pasir. Wahabi berhasil dikikis habis di jazirah Arab.
Asbir Dt. Rajo Mangkuto
Tahun 1795 Mesir diserang pasukan Napoleon. Terjadi perang besar-besaran antara pasukan Turki Ottoman dan pasukan Napoleon. Perang berlangsung sampai tahun 1803. Dalam pasukan Turki tersebutlah tiga haji; Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang bergabung sebagai pasukan Turki. Mereka menjadi komandan pasukan pada kompi (arteleri, kavaleri, infantri) yang berbeda.
Pada 1918, pasukan Sekutu –Perang Dunia II– yang dikomandoi Inggris menyerang dan menguasai daerah yang dikuasai Turki Ottoman selama satu abad. Sekutu membentuk kerajaan-kerajaan kecil di kawasan bekas kekuasaan Ottoman. Tiga tahun kemudian, 1921, pasukan sekutu meninggalkan jazirah arab. Kesempatan itu dimanfaatkan kaum Ibnu Saud untuk kembali muncul dan menguasai Mekah dan Madinah.
“Keberadaan Haji Miskin, Sumaniak dan Haji Piobang waktu di Mekah tidak bersentuhan dengan ajaran Wahabi yang dianut kaum Ibnu Saud,” ujar Asbir.
Para Tuanku dan Satariyah
Gerakan di Minangkabau antara tahun 1803 sampai 1821 yang disebut Belanda sebagai perang antara kaum ulama dan adat. Menurut Asbir, yang terjadi sebenarnya adalah Perang Tuak. Di zaman itu, orang Minangkabau yang sudah bersumpah melalui Sumpah Sati Marapalam, tahun 1403 M, menjadikan Islam sebagai agama dan sebagai prasyarat orang Minangkabau.

Sementara dalam keseharian di tengah-tengah masyarakat masih terlihat hal-hal yang bertentangan dengan syara’/syari’at seperti kebiasaan berjudi, minum tuak, mengisap candu dan prilaku lain yang tidak sejalan dengan Islam.
“Bagi kaum ulama di masa itu, orang Minang harus menjalankan Islam sesuai syari’at. Bagi yang tidak, akan diperangi,” ujar Asbir.
Salah seorang ulama, Tuanku nan Renceh, asal Kamang berdiri di depan untuk memerangi judi, tuak, candu. Bahkan dibentuk kelompok tuanku yang dikenal dengan ‘Harimau nan Salapan’ yang dipimpin Tuanku nan Renceh. Belanda juga menyebarkan opini bahwa para tuanku tersebut menganut paham Wahabi.
“Para tuanku yang tergabung dalam Harimau nan Salapan, semuanya berasal dari Luhak Agam. Tidak benar para tuanku tersebut Wahabi karena mereka semua adalah murid ulama tarikat Satariyah yakni Tuanku nan Tuo, Koto Tuo, Ampek Angkek,” kata Asbir.
Tarikat Satariyah, maupun Naqsabandi kata Asbir, lebih dekat ke paham imam Safi’i. Sementara paham Wahabiyah merupakan aliran yang dekat dengan paham imam Hambali.
Perangi Belanda
Para tuanku / ulama, niniak-mamak serta masyarakat Minangkabau, pada abad ke-19, melawan kolonial Belanda dalam masa yang sangat panjang. Belanda juga memakai taktik meng-adu kaum ulama dengan kaum adat. Belanda berpihak pada kaum adat dan menciptakan istilah Perang Paderi dengan pengertian ‘memerangi kaum ulama’.
 Sementara bagi kaum ulama dan adat, perang dengan Belanda disebut sebagai Perang Tuak/Candu. Sebab, Tuak dan Candu adalah dua mata dagangan Belanda ke Minangkabau yang sangat menguntungkan. Belanda memakai toke-toke Cina sebagai agen besar, bahkan ada juga orang Minang yang menjadi perantara.
Dalam catatan sejarah yang ditulis, Perang Paderi (versi Belanda) dan Perang Tuak/Candu (versi orang Minang) terbagi atas beberapa periode. Periode pertama; 1803 sampai 1821 yang dicitrakan Belanda sebagai perang pembersihan atau pemurnian Islam oleh kaum ulama/Paderi terhadap golongan penghulu/adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari’at Islam.
 Periode kedua: tahun 1821 sampai 1832 merupakan pertempuran antara kaum ulama/Paderi dan golongan penghulu adat dengan Belanda-Kristen.
Periode ketiga antara tahun 1832 – 1843 merupakan perjuangan seluruh rakyat Minangkabau, bersama kaum ulama, golongan penghulu adat barsatu melawan dan mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari wilayah Minangkabau.

»asra f. sabri


Share:

0 komentar:

TRENDING TOPICS

featured video

Unordered List

Definition List