Bakaba.co —
Minangkabau, salah satu etnis yang memiliki adat dan budaya khas di bumi
nusantara, selalu di bawah sasaran untuk dilemahkan. Bahkan pemutar-balikkan
sejarah dan fakta tentang Minangkabau dan adatnya sampai sekarang masih terus
berlangsung.
“Pelemahan bahkan upaya
menghilangkan eksistensi Minangkabau dan Adatnya dilakukan dengan berbagai cara
oleh Belanda maupun antek-anteknya. Sampai sekarang.” Hal itu ditegaskan
Asbir Dt. Rajo Mangkuto dalam perbincangan dengan bakaba.co
Pada zaman Belanda, tahun 1850 kata Asbir,
diterbitkan majalah bernama ‘Tijdschrif voor Nederlandsch Indi’ (Majalah untuk
Hindia Belanda). Majalah tersebut sangat gencar menulis sejarah Indonesia dan
Minangkabau. Tulisan yang disebarkan majalah itu memutar-balikkan fakta dan
sejarah Minangkabau. Tulisan itu dijadikan bahan rujukan sejarah dan diajarkan
di sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sejarah yang sama juga diajarkan di
sekolah yang didirikan masyarakat di Minangkabau.
Masuknya Islam
Berkaitan Islam di Minangkabau,
majalah tersebut menulis bahwa Islam masuk ke Minangkabau pada abad ke-18.
Islam yang dibawa pedagang Gujarat ke Minang mereka sebut berpaham Qaramithah.
Dalam menyebarkan agama Islam, pedagang asal Gujarat dibantu Syekh Burhanuddin
Ulakan. Di mana akhirnya para pemimpin/pucuk adat, raja-raja di Minangkabau
menganut paham Islam Qaramithah.
Selain itu majalah yang sama
menulis bahwa Islam masuk ke Minangkabau melalui pantai barat Sumatra. Mereka
mengaitkannya dengan keberadaan Syekh Burhanuddin yang berada dan hidup di
Ulakan, Pariaman. “Begitu cara mereka membuat pembenaran atas sejarah masuknya
Islam ke Minangkabau yang mereka sesatkan,” ujar Asbir Dt. Rajo Mangkuto.
Majalah yang sama menulis, pada
tahun 1805 M: H. Miskin, H. Sumanik dan H. Piobang pulang dari Mekah. Ketiga
Haji tersebut membawa paham Wahabbiyah. Akhirnya para ulama di Minangkabau
menganut aliran Wahabbiyah, yang ekstrim dan kejam. Sementara para pemangku
adat dan raja-raja mereka sebut menganut paham Qaramithah.
Perbedaan paham itu disimpulkan
penulis Belanda di Tijdschrif voor Nederlandsch Indie sebagai pemicu terjadinya
perang antara ulama dan kaum adat di Minangkabau. Perang yang terjadi antara
tahun 1803 sampai 1821 disebut Belanda sebagai perang antara kaum ulama yang
menganut paham Wahabi dengan para pemangku adat yang menganut Qaramithah.
Penulis Belanda di majalah itu
dengan meyakinkan menulis bahwa H. Miskin, H. Sumanik dan H. Piobang telah
mengembangkan ajaran Wahabi sejak 1805 di Minangkabau. “Sementara perang yang
mereka sebut dashyat antara kaum Wahabi dengan penganut Qaramithah sudah
terjadi dua tahun sebelumnya. Begitu tidak masuk akal,” kata Asbir, yang
menulis buku ‘Direktori Minangkabau’, 2011.
Sejarah yang Terjadi
Menurut Asbir, dia membaca begitu
banyak referensi dan dokumen sejarah, akhirnya dia menyimpulkan bahwa fakta dan
sejarah Minangkabau banyak diputar-balikkan Belanda. Salah satunya tentang
masuknya Islam ke Minangkabau, juga tentang perang yang terjadi tahun 1803-1821
dengan tokoh-tokoh dan paham yang sengaja dibuat keliru oleh Belanda.
Islam masuk ke Minangkabau jauh
sebelum abad 18. Pada tahun 695 M saja, kata Asbir, telah berdiri Kerajaan
Islam Muaro Sabak (berpusat di hiliran Sungai Batanghari) dan diikuti pucuk
Adat Pariangan. Tahun 790 M berdiri Kerajaan Islam Pulau Penyengat, tahun 970 M
berdiri Kerajaan Islam Kuntu (berpusat di Kampar, Minangkabau bagian timur),
tahun 1110 M berdiri Kerajaan Islam Fansur, tahun 1120 M berdiri Kerajaan Islam
Aru Barumun, dan di tahun yang sama, 1120 berdiri Kerajaan Islam Indropuro (Pesisir
Selatan).
Islam dan Pedagang Arab
Belum lagi jika kita baca sejarah
Yaman. Bahwa pedagang dari Yaman, sudah datang ke wilayah Minangkabau sejak
tahun 628 M. Selain berdagang ke Kanton, pedagang Yaman beragama Islam ke
Minangkabau membeli kamper (kapur barus), merica dan lada dan bahan rempah
lainnya.
Di zaman Raja Sulaiman,
perdagangan laut telah dilakukan dengan sebutan Thariqal Bahri. Para pedagang
Yaman beragama Islam menuju Minangkabau, daerah transit untuk mengambil air dan
bahan makanan di kepulauan Maladewa, Perlaq di Aceh, pulau Penyengat di
kepulauan Riau. Di pulau Penyengat para pedagang dari Yaman membagi rombongan:
ada yang menuju Kanton, dan sebagian lagi menuju Minangkabau dan daerah lain di
Nusantara.
Para pedagang bangsa Arab berperan
menyebarkan Islam di wilayah Minangkabau dan meyakinkan pihak kerajaan yang
mereka datangi untuk menganut Islam. Muaro Sabak dengan raja Lukito Warman,
tahun 695 M menjadi kerajaan Islam.
Agama Islam
yang dibawa para pedagang bangsa Arab: Yaman, Parsi sejak abad ke-7 melalui
jalur Sumatra timur. Sungai Kampar menjadi pintu masuk para pedagang bangsa
Arab ke pedalaman Minangkabau. Pilihan Sungai Kampar sampai ke Hulu di daerah
Mahek, Luhak 50 Koto karena di sepanjang wilayah tersebut terdapat kampher
(getah pohon kampher atau bahan kapur barus) yang berlimpah.
Berbeda dengan pedagang Arab Parsi yang
berdagang dan menyebarkan Islam melalui hiliran Sungai Batanghari. Mereka
datang mencari dan membeli emas yang banyak terdapat di daerah selatan Sumatra
tersebut.
Puncak dari
sejarah masuknya Islam ke Minangkabau, tahun 1403 M, orang Minangkabu inti
(Luhak nan Tigo) ber~bai’ah/bersumpah: orang Minangkabau menganut Islam secara
keseluruhan. Melalui musyawarah di Bukik Marapalam, Puncak Pato, Tanahdatar,
ditetapkan Adat Basyandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah – Syara’ Mangato,
Adat Mamakai – sebagai landasan hidup dan kehidupan orang Minangkabau.
“Sejak abad tujuh telah
berdiri kerajaan Islam di wilayah Minangkabau. Fakta itu sudah bisa membatalkan
sejarah yang dibuat Belanda, yang menulis sejarah bahwa Islam masuk ke
Minangkabau pada abad 18,” ujar Asbir.
Sementara soal Gujarat, daerah yang
terletak di barat laut India justru penduduknya menganut Hindu dan Budha. Baru
pada tahun 1760 M, Islam masuk ke Gujarat ketika Gujarat ditaklukkan Sultan
Akbar yakni sultan kedua Bhopal. Bahkan sampai tahun 1911, saat Gujarat
diduduki Inggris, tidak lebih 40 persen penduduk Gujarat yang beragama Islam.
Bangsa Gujarat bukanlah bangsa pedagang, kata
Asbir. Tidak ada kebutuhan Gujarat yang mereka perlukan tersedia di
Minangkabau. Begitu juga kebutuhan orang Minang tidak ada di Gujarat. Selain
itu, orang Gujarat tidak pernah melakukan perpindahan besar-besaran ke
Minangkabau. Begitu juga dengan paham Qaramithah, yang sudah habis tujuh abad
sebelum Islam masuk ke Gujarat.
Habisnya paham Qaramithah, 700 tahun sebelum
Islam masuk ke Gujarat, dapat dibuktikan dengan sejarah Basrah. Tahun 881 M, di
sebuah desa bernama Qaramith di utara Basrah, mulai diajarkan Syiah Qaramithah
oleh Al-Hamdani. Qaramithah menganut ajaran ‘tassukil arwah’ yang berasal dari
ajaran samsara agama Hindu dan Budha. Penganut Qaramithah mempercayai malaikat
jibril dan mikhail bisa masuk ke dalam tubuh manusia. Imam mereka Al-Hamdani
dipercaya sering dimasuki jibril yang memberi petunjuk padanya. Adanya
kepercayaan tersebut, ajaran Qamarithah berkembang cepat. Pada tahun 926 M,
para penganut Qamarithah menyerang Hijjaz bagian utara dan membelok ke selatan
menduduk Madinah dan Mekah. Waktu itu sedang musim haji. Para jamaah haji
mereka rampas dan banyak yang dibunuh. Kemudian mereka mencungkil Hajjar Aswat
dan membawa lari ke Wadi Hajjar. Batu Hajjar Aswat mereka sembah.
Tidak kurang
25 tahun, batu Hajjar Aswat dikuasai penganut Qaramithah. Sampai pada tahun 951
M, Muizuddaulah, penganut Syiah Itsnai Asyarah atas perintah Khalifah bani
Abbaisyiah menyerang Wadi Hajjar sampai penganut Qaramithah cerai-berai lari
memasuki padang pasir. Batu Hajjar Aswat berhasil direbut dan dikembalikan ke
tempat semula.
Berselang 20
tahun, penganut Qaramithah kembali bangkit. Pada tahun 970 M mereka masuk,
menyerang dan merampoki Kota Damaskus. Hanya satu tahun Qaramithah menguasai
Damaskus. Tahun 971 M, Jauhar as-Siqqili bani Fatimiyah, termasuk Syiah
Ismailiyah dengan pasukan besar menumpas pengikut Qaramithah di Damaskus
sehancur-hancurnya. Kemudian As-Siqqili meneruskan penyerangan ke Wadi Hajjar,
dan menghabisi Qaramithah sampai ke akar-akarnya. Sejak itu, tahun 971 M, Islam
aliran Qaramithah tidak ada lagi.
“Sejarah yang ditulis di Tijdschrif voor
Nederlandsch Indie, bahwa paham Qaramithah dibawa dari Gujarat ke Minangkabau,
sangat tidak bisa diterima akal sehat,” kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto, yang
sudah berusia 83 tahun mampu mengingat urutan sebuah peristiwa sejarah serta
tahun-tahun kejadiannya.
Syekh
Burhanuddin Ulakan
Tokoh yang
ditulis Belanda dalam sejarah bikinan mereka bahwa pembawa Islam ke Minangkabau
yakni Shekh Burhanuddin Ulakan, bersamaan dengan pedagang Gujarat, pada abad
18. Juga dimunculkan mamangan “syara’ mandaki, adat menurun’, yang disebarkan
seakan-akan agama Islam berasal dari daerah pesisir Pariaman, dan adat
Minangkabau menurun dari darek/pedalaman ke wilayah pesisir.
Padahal, jelas
Asbir, Shekh Burhanuddin Ulakan, baru ada dan hidup 11 abad setelah Islam masuk
ke Minangkabau. Bahkan sebelumnya juga ada Shekh Burhanuddin Kuntu. Sejarah
mencatat, tahun 1184 M, wali murid masyarakat Batuhampar, Payakumbuh, membawa
seorang guru agama Islam dari Mekah. Guru tersebut seorang Arab Quraisy,
bernama Burhanuddin. Pada tahun 1194 M, Burhanuddin pindah ke Koto Kaciak,
Kumpulan, Palupuah, Agam. Lima tahun kemudian, tahun 1199 M, Burhanuddin pindah
ke Kuntu dan dikenal sebagai Syekh Burhanuddin Kuntu. Pada tahun 1214 M, Syekh
Burhanuddin Kuntu meninggal dan dikebumikan di Kuntu.
Sementara
Syekh Burhanuddin Ulakan, sejarah mencatat; lahir tahun 1646 M dan meninggal
tahun 1704 M. Ketika berusia remaja, Burhanuddin yang nama kecilnya Pono,
belajar Islam ke Aceh dengan guru Syekh Abdur Rauf Al-Singkili. Setelah belajar
10 tahunan, tahun 1680 M Burhanuddin kembali ke Ulakan, Pariaman, dan
mendirikan surau untuk mengajar agama Islam. Paham yang diajarkan Syekh
Burhanuddin adalah Syatariah.
Sejarah
masuknya Islam ke Minangkabau disesatkan Belanda dan disebarkan
sedemikian rupa. Tujuannya mengacaukan sejarah dan marwah orang Minangkabau
yang sudah lama menganut agama Islam.
“Tujuan utama Belanda adalah membentuk opini
bahwa agama Kristen lebih dulu menyebar di Nusantara, termasuk di wilayah
Minangkabau dibanding agama Islam,” kata Asbir yang pernah menjadi Walinagari
Simarasok, Baso di awal-awal kemerdekaan.
Tiga Haji & Para Tuanku Yang Dituduh Wahabi
Pemutar-balikkan fakta dilakukan terhadap tiga tokoh ulama Minangkabau
yakni Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang. Selain tiga haji tersebut,
para ulama atau tuanku lain juga dituduh sebagai penganut ajaran Wahabiyah oleh
penulis asing dan kolonial Belanda
Pada zaman Belanda, tahun 1850 diterbitkan majalah bernama ‘Tijdschrif voor
Nederlandsch Indie’ (Majalah untuk Hindia Belanda). Majalah itu gencar menulis
sejarah Indonesia dan Minangkabau.
Tulisan yang disebarkan majalah memutar-balikkan fakta dan sejarah
Minangkabau, dan dijadikan bahan rujukan sejarah dan diajarkan di
sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Sejarah yang sama juga diajarkan di
sekolah yang didirikan masyarakat di Minangkabau.
Majalah tersebut menulis bahwa pada tahun 1805 M, tiga ulama asal
Minangkabau yang pulang dari Mekah menganut paham Wahabiyah.
Ketiga ulama tersebut Haji Miskin, Haji Sumaniak dan Haji Piobang. Juga
ditulis bahwa di Minangkabau aliran Wahabi dianut oleh golongan ulama yang
bergelar tuanku.
Cap Wahabi itu semakin mendapat tempat pijakan ketika terjadi perang
dahsyat di Minangkabau, antara kaum ulama dengan kaum adat antara tahun 1803
sampai 182.
Kemudian dilanjutkan Perang Paderi, nama ciptaan Belanda, di mana Belanda
mendukung kaum adat untuk menumpas kaum ulama.
Dalam buku dan tulisan yang tersebar sangat kuat tertanam dalam memori
kolektif masyarakat bahwa kaum ulama beraliran Wahabi memerangi kaum adat yang
diistilahkan sebagai ‘pemurnian Islam di Minangkabau’.
Dari pihak ulama, selain Haji Miskin, Sumaniak dan Haji Piobang, juga
Tuanku nan Renceh dan ulama yang disebut ‘Harimau nan Salapan’ sampai Tuanku
Imam Bonjol, Tuanku Lintau, Tuanku Rao dicap Belanda penganut ajaran Wahabi.
Harus Diluruskan
Orang Minang, kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto,
penting mengkritisi dan harus meluruskan sejarah yang dibuat Belanda, berkaitan
dengan tiga ulama dan para tuanku di Minangkabau.
Sebab implikasinya luas, terbentuk stigma atau
cap negatif bahwa kaum adat dan ulama di Minang tidak akur dan sejalan.
“Misi Belanda jelas, bagaimana
adat dan agama Islam dipertentangkan dan bermusuhan. Belanda tahu bahwa
kekuatan Minangkabau terletak pada prinsip adat bersendi syara’, syara’
bersendi kitabullah,” kata Dt. Rajo Mangkuto, yang menulis buku ‘Direktori
Minangkabau’.
Tuduhan sangat tidak masuk akal bahwa, Haji Miskin, Haji Sumaniak dan
Haji Piobang Wahabi, kata Asbir Dt. Rajo Mangkuto. Sebab, ketiga haji itu saat
berada di Mekah antara tahun 1790 sampai 1805.
Mekah waktu itu termasuk wilayah yang dikuasai Turki Ottoman. Pada tahun
1760, Mekah dan Madinah diserang dan diduduki Ibnu Saud penganut paham Wahabi
Ahlusunnah Hambali.
Ibnu Saud dan pasukannya hanya beberapa bulan menduduki Mekah dan Madinah,
karena diserang balik pasukan Turki.
Ibnu Saud mundur ke Riyadh. Riyadh berhasil diduduki Turki. Pasukan Turki
terus mendesak Ibnu Saud dan pasukannya jauh ke tengah padang pasir. Wahabi
berhasil dikikis habis di jazirah Arab.
Asbir Dt. Rajo Mangkuto
Tahun 1795 Mesir diserang pasukan Napoleon. Terjadi perang besar-besaran
antara pasukan Turki Ottoman dan pasukan Napoleon. Perang berlangsung sampai
tahun 1803. Dalam pasukan Turki tersebutlah tiga haji; Haji Miskin, Haji
Sumaniak dan Haji Piobang bergabung sebagai pasukan Turki. Mereka menjadi
komandan pasukan pada kompi (arteleri, kavaleri, infantri) yang berbeda.
Pada 1918, pasukan Sekutu –Perang Dunia II– yang dikomandoi Inggris
menyerang dan menguasai daerah yang dikuasai Turki Ottoman selama satu abad.
Sekutu membentuk kerajaan-kerajaan kecil di kawasan bekas kekuasaan Ottoman.
Tiga tahun kemudian, 1921, pasukan sekutu meninggalkan jazirah arab. Kesempatan
itu dimanfaatkan kaum Ibnu Saud untuk kembali muncul dan menguasai Mekah dan
Madinah.
“Keberadaan Haji Miskin, Sumaniak dan Haji Piobang waktu di Mekah tidak
bersentuhan dengan ajaran Wahabi yang dianut kaum Ibnu Saud,” ujar Asbir.
Para Tuanku dan Satariyah
Gerakan di Minangkabau antara tahun 1803 sampai
1821 yang disebut Belanda sebagai perang antara kaum ulama dan adat. Menurut
Asbir, yang terjadi sebenarnya adalah Perang Tuak. Di zaman itu, orang Minangkabau
yang sudah bersumpah melalui Sumpah Sati Marapalam, tahun 1403 M, menjadikan
Islam sebagai agama dan sebagai prasyarat orang Minangkabau.
Sementara dalam keseharian di tengah-tengah masyarakat masih terlihat
hal-hal yang bertentangan dengan syara’/syari’at seperti kebiasaan berjudi,
minum tuak, mengisap candu dan prilaku lain yang tidak sejalan dengan Islam.
“Bagi kaum ulama di masa itu, orang Minang harus menjalankan Islam sesuai
syari’at. Bagi yang tidak, akan diperangi,” ujar Asbir.
Salah seorang ulama, Tuanku nan Renceh, asal Kamang berdiri di depan untuk
memerangi judi, tuak, candu. Bahkan dibentuk kelompok tuanku yang dikenal
dengan ‘Harimau nan Salapan’ yang dipimpin Tuanku nan Renceh. Belanda juga
menyebarkan opini bahwa para tuanku tersebut menganut paham Wahabi.
“Para tuanku yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan, semuanya berasal dari Luhak Agam. Tidak benar para tuanku tersebut
Wahabi karena mereka semua adalah murid ulama tarikat Satariyah yakni Tuanku
nan Tuo, Koto Tuo, Ampek Angkek,” kata Asbir.
Tarikat Satariyah, maupun Naqsabandi kata Asbir, lebih dekat ke paham imam
Safi’i. Sementara paham Wahabiyah merupakan aliran yang dekat dengan paham imam
Hambali.
Perangi Belanda
Para tuanku / ulama, niniak-mamak serta
masyarakat Minangkabau, pada abad ke-19, melawan kolonial Belanda dalam masa
yang sangat panjang. Belanda juga memakai taktik meng-adu kaum ulama dengan
kaum adat. Belanda berpihak pada kaum adat dan menciptakan istilah Perang
Paderi dengan pengertian ‘memerangi kaum ulama’.
Sementara bagi kaum ulama dan adat, perang dengan Belanda disebut
sebagai Perang Tuak/Candu. Sebab, Tuak dan Candu adalah dua mata dagangan
Belanda ke Minangkabau yang sangat menguntungkan. Belanda memakai toke-toke
Cina sebagai agen besar, bahkan ada juga orang Minang yang menjadi perantara.
Dalam catatan sejarah yang ditulis, Perang
Paderi (versi Belanda) dan Perang Tuak/Candu (versi orang Minang) terbagi atas
beberapa periode. Periode pertama; 1803 sampai 1821 yang dicitrakan Belanda
sebagai perang pembersihan atau pemurnian Islam oleh kaum ulama/Paderi terhadap
golongan penghulu/adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan
syari’at Islam.
Periode kedua: tahun 1821 sampai 1832 merupakan pertempuran antara
kaum ulama/Paderi dan golongan penghulu adat dengan Belanda-Kristen.
Periode ketiga antara tahun 1832 – 1843 merupakan perjuangan seluruh rakyat
Minangkabau, bersama kaum ulama, golongan penghulu adat barsatu melawan dan
mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari wilayah Minangkabau.
»asra f. sabri
0 komentar:
Posting Komentar